skip to main |
skip to sidebar
Peluh bercucuran di dahi dua anak kecil kakak beradik. Mereka sedang bekerja menimba air ditengah terik matahari yang panas menyengat, semenjak ayahnya meninggal seminggu yang lalu, mereka rela membanting tulang bekerja kepada seorang Yahudi yang kaya raya tapi kikir dan kejam, demi membantu ibunya. Mereka terlahir ditengah-tengah kondisi keluarga yang amat miskin. Keduanya berwajah tampan dengan rambutnya yang ikal. Sang adik kondisi tubuhnya lebih lemah dan sakit-sakitan. Wajahnya yang cekung tampak memerah oleh panasnya udara padang pasir di siang dibawah panas terik.
Ubaid sang kakak berhenti menimba dan berkata pada adiknya, ”Zaid, beristirahatlah sejenak, biar aku yang melakukan sendiri.”
Zaid tersenyum di antara wajahnya yang lelah. Dia menggelengkan kepala. ” Nggak ah nanti Tuan kita marah-marah lagi seperti kemarin.”
Ubaid berusaha membujuk adiknya, ”Tuan kita sedang pergi kok. Lagipula kamu kan sudah berkerja keras dari pagi tadi. Ayo beristirahatlah, pekerjaan ini sebentar lagi selesai.”
Akhirnya Zaid mau beristirahat. Dia berteduh dibawah sebatang pohon kurma. Tubuhnya memang selalu sakit-sakitan sejak ia lahir. Untung Ubaid adalah kakak yang baik dan sayang kepadanya. Angin berhembus pelan dan Zaid yang kelelahan itu pun tertidur tanpa terasa.
Tiba-tiba datanglah seorang lelaki gemuk menaiki keledai yang kuat. Namanya Raban, dia seorang Yahudi yang kaya raya. Dialah tuan yang memperkejakan Ubaid dan Zaid. Sifatnya kikir dan jahat, begitu melihat Zaid sedang tertidur, ia langsung naik pitam. Dijewernya telinga Zaid kuat-kuat. ” Jadi kerjamu hanya bermalas-malsan dan tidur saja seharian, hari ini kamu tidak akan dapat upah !”
Zaid kesakitan, melihat pemandangan tersebut Ubaid segera berlari mendekat. ”Jangan sakiti adikku Tuan Raban yang baik,” katanya menghiba
”Dia pemalas, dan pantas aku pukul, kalau begini terus bisa bangkrut aku !” hardik si Raban.
”Kalau Tuan mau memukul, pukullah saya sebagai gantinya.” jawab Ubaid. Tiba-tiba melayanglah tamparan keras di pipi Ubaid. Kemudian Raban mengeluarkan uang dan melemparkan ke tanah. ”Enyahlah kau pemalas !” Mereka memungut uang tersebut dan bergegas pulang.
Zaid terisak-isak. Ia sangat menyesal karena sampai tertidur. Ia kasihan melihat Ubaid, tapi ia lebih menyesal lagi, karena uang yang dibawanya pulang untuk ibunya sangat sedikit. Ah.. andai Ayah mereka belum meninggal, kehidupan mereka tidak akan sesulit ini. Namun mereka masih merasa bangga, karena mereka mempunyai ibu yang sangat bijaksana. Betapapun sedih hatinya melihat nasib anak-anaknya, ia selalu tersenyum dan selalu membuat mereka bahagia, dan tidak bosan-bosannya senantiasa mengingatkan mereka bahwa sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.
Setiap malam tiba mereka merasakan suatu kesepian yang panjang, mereka merasa malam-malam berikutnya pastilah akan berlalu seperti ini terus.
Namun ternyata Allah tidak berlama-lama membiarkan mereka dalam kesedihan. Karena pada suatu malam datanglah tamu yang ternyata Paman Atib, adik kandung ibu mereka. Paman Atib itu seorang pemuda yangg gagah dan terpelajar. Dia menyempatkan singgah untuk menengok kakak dan para keponakannya.
Kedatangan pamannya membawa kebahgiaan tersendiri, persis seperti cahaya bulan yang masuk dari sela-sela jendela butut rumah mereka. Selama beberapa hari mereka tidak perlu bekerja terlalu berat, karena Paman Atib bekerja membantu untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Yang membahagiakan mereka berdua, adalah dikala setelah sholat Isya. Karena Paman Atib selalu bercerita tentang Rasulullah. Paman Atib memang pernah mengunjungi Madinah dan beberapa kali bertemu Nabi Muhammad Saw. Ubaid Zaid sangat bahagia sekali jika Pamannya bercerita mengenai Rasulullah.
Saat larut malam ketika semua mahluk terlelap, Zaid kecil terbangun. Sayup-sayup terdengar suara Paman Atib sedang melaksanakan sholat tahajud. Perlahan Zaidpun bangkit dan pergi ke sumur. Dibasuhnya tubuh yang kurus dengan air wudlu. ”Subhanallah,” ucapnya sambil mengagumi langit malam yang gemerlap. Teringat ia akan syair musafir yang pernah lewat hendak menuju Madinah, yang didendangkan dengan penuh rasa cinta.
Yaa… Muhammad…
Ini aku musafir yang terlunta-lunta…
Berjalan jauh arungi batu-batu tandus.
Tertatih-tatih menuju tempatmu berdo’a.
Lihatlah kakiku melepuh.
Rasanya sakit, Yaa…Muhammad…
Kau lihat bajuku koyak dan keringatku kering.
Betapa aku menderita, Ya… Muhammad…
Kuketuk pintu rumahmu dengan rasa malu
Kutakut aku terlalu hina untukmu
Bukalah pintumu untukku Yaa.. Muhammad…
Engkaulah sahabat dan Ayah orang-orang yang menderita.
Bukakan pintu dan kutatap wajahmu, sambil melepas tangis rindu..
Tersenyumlah padaku dan katakan ”Wahai hamba Allah…
Ini adalah rumah kasih sayangmu… Selamat datang dalam genggaman Persaudaraan Iman dan Cinta.
Perlahan Zaid berdiri disamping Paman Atid dan kemudian melakukan sholat Tahajud. Selesai sholat mereka berdua duduk menghadap jendela sambil menikmati cahaya bulan yang mempesona.
”Paman..” panggil Zaid lirih.
Paman Atib menoleh di elusnya punggung keponakkannya itu. ”Ada apa Zaid ?” tanyanya sambil tersenyum.
”Benarkah Paman besok akan pergi ?” tanya Zaid sambil tetap menatap bulan. Paman Atib terdiam sejenak. ” Ya… Zaid, Paman harus pergi…” jawabnya kemudian.
”Pergi kemana ?” tanya Zaid.
”Ke Madinah..” jawab Paman Atib.
Zaid menoleh dan menatap wajah pamannya dalam-dalam. ” Paman akan bertemu Rasulullah?” tanyanya perlahan.
Paman Atib tersenyum dan mengangguk. ”Insya ALLAH…” jawabnya.
”Apakah Rasulullah seorang yang kaya raya, Paman ?” tanya Zaid.
”Rasulullah adalah seorang Nabi, bukan seorang raja, Zaid,” jawab Paman Atib.
”Beliau tidur diatas tikar yang serupa dengan yang kita pakai. Beliau memakai pakaian seperti yang kita pakai. Beliau juga memakan makanan seperti yang kita makan, yaitu beberapa butir kurma dan segelas air. Sesekali beliau minum susu kambing itupun hadiah dari para tetangganya”.
Zaid termenung. Tadinya dia berharap bahwa Nabi akan lebih kaya daripada Raban. Tetapi kini dia tercenung. Karena kekayaan Nabi tidak lebih dari keluarganya sendiri, bagaimana mungkin seorang yang tidak kaya bisa ditaati semua orang ?, bukanlah Raban yang kaya itu tinggal mengatakan sesuatu maka semua keinginannya akan terkabul.
”Kalau Nabi bukan orang kaya, bagaimana Beliau bisa membantu kita, rakyat yang miskin ini, Paman ?” tanya Zaid keheranan.
Paman Atib tersenyum. ”Nabi kita punya kasih sayang, wahai Zaid. Dengan kasih sayang itulah Nabi menolong semua umatnya,” kata Paman Atib dengan lembut. ” Bila beliau punya sedikit kelebihan uang, akan dibagi-bagikannya kepada para fakir miskin. Beliau juga mengajarkan pada orang kaya, agar senantiasa membantu saudara-saudara mereka yang kesusahan. Kasih sayang Nabi tidak terbatas, wahai Zaid. Kasih sayang Nabi meliputi seluruh alam.”
Zaid tercenung. ”Subhanallah…” ucapnya lirih.
”Bila seseorang memberi kasih sayang, ia akan di beri kasih sayang pula oleh Allah dan orang-orang lain,” kata paman Atib.
Zaid termenung lagi. Walaupun Raban kaya, tetapi ia tidak disayangi orang karena sifatnya yang kejam. Kekayaan Raban tidak ada artinya dibandingkan kekayaan kasih sayang Nabi. ”Paman…, kalau kasih sayang Nabi seluas alam ini, berarti Nabi juga menyayangi anak-anak ?” tanya Zaid penuh harap.
Paman Atib meraih Zaid dan mendudukkannya di pangkuan. ” Bila Rasulullah bertemu anak-anak, Beliau selalu menyapa mereka dan mengajaknya tertawa,” kata Paman Atib. ”Beliau sering mengajak mereka berlomba lari dan memarahi orang dewasa yang berlaku jahat kepada anak-anak.”
Tanpa terasa air mata Zaid menggenang. ”Benarkah didunia ini ada orang sebaik itu ?” pikirnya dalam hati. Perlahan timbul rasa rindu di hati Zaid. Lalu Paman Atib berkata lagi, ”Tetapi yang lebih besar dari semua itu adalah pengorbanan Beliau di jalan Allah. Tahukah engkau Zaid, ketika Rasulullah berdakwah seorang diri ke kota Thaif, Beliau malah dilempari batu oleh orang-orang bodoh itu sambil disoraki ?”
Zaid melompat dari pangkuan Atib dan bertanya dengan wajah tegang. ”Dilempari batu ? lalu apa yang terjadi wahai Paman ? Apa yang terjadi ?”
”Tubuh dan kaki beliau terluka, sehingga sepanjang jalan kota Thaif berceceran bercak-bercak darah suci yang mengalir dari luka itu…” jawab Paman Atib dengan murung. Tubuh Zaid terasa lemas, kepalanya tertunduk seraya jatuh berlutut. ”Subhanallah…Subhanallah….” bisiknya tersendat. Mendadak ia mengenggam tangan Paman Atib erat-erat. Kemudian dia mendongakkan kepala dan memandang wajah Paman Atib lekat-lekat. Matanya berkaca-kaca, namun sorot matanya penuh dengan kemarahan.
” Paman…” ujarnya tersendat-sendat. ”Bersumpahlah dengan nama Allah yang Maha Perkasa, bahwa Paman akan menghunus pedang dan saya akan menyiapkan ketapel. Lalu kita hancurkan kota orang-orang kafir itu sampai Allah memberi kemenangan, atau kita mati syahid.”
Paman Atib membalas tatapan Zaid, sementara kedua tangannya memegang bahu Zaid erat-erat. Paman Atib menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. ”Zaidku…” katanya dengan penuh rasa kasih sayang. ”Rasulullah adalah Suri Tauladan dan panutan setiap Muslim, bukankah begitu ?” Zaid mengangguk perlahan, sementara air matanya makin menggenang sehingga wajah Paman Atibpun terlihat buram olehnya.
”Tahukah engkau wahai Zaidku, apa yang dilakukan Rasulullah setelah menerima perlakuan demikian kejam ? tahukah engkau ?” tanya Paman Atib lagi. Zaid menggeleng disertai air matanya yang mulai mencair dan meleleh dipipinya. ”Apakah Rasulullah akan memohon agar Allah menghukum orang-orang itu ? Padahal setiap do’a Beliau akan dikabulkan Allah. Apakah Rasulullah akan memohon agar kota Thaif dihancurkan ?” tanya Paman Atib bersungguh-sungguh. ”Ternyata tidak wahai Zaid, tidak. Rasulullah malah memohon agar Allah memaafkan mereka semua…” Zaid semakin tersedu-sedu karena terharu. Tak pernah didengarnya ada manusia sebaik dan seagung itu.
Paman Atib memeluk Zaid kecil didekapnya ke dadanya. Ia mengelus punggung Zaid sambil berbisik, ”Dan setelah bertahun-tahun berlalu, akhirnya orang-orang Thaif memeluk Islam. Orang yang dulu melempari Nabi dengan batu, kini telah menjadi saudara kita. Saudara dalam Iman dan cinta. Semua itu berkat cinta dan kesabaran Nabi terhadap sesamanya. Dan kita harus meneladani Beliau. Kamu paham kan Zaidku ?”
Zaid mengangguk dalam tangisnya. Hatinya semakin terjerat rindu dengan manusia seagung itu. ”Paman…” katanya dengan suara serak. ”Ajaklah aku bersamamu. Aku ingin menjaga Rasulullah agar tak ada orang yang dapat mencelakainya lagi.”
”Zaid,” kata Paman Atib lagi. ”Kamu masih kecil dan perjalanan ke Madinah sangat jauh. Lagipula yang harus kau jaga disini adalah ibumu, ingatlah itu.”
Zaid menggeleng-gelengkan kepala. ”Kak Ubaid dapat menjaga ibu disini. Lagipula aku tidak takut perjalanan jauh, wahai Paman. Biar kecil begini tubuhku kuat lho…” Tak ada yang bisa membujuk Zaid untuk tetap tinggal. Kerinduannya untuk bertemu Rasulullah sudah sedemikian besarnya sehingga menyesakkan dada. Ibu Zaid yang bijaksana itupun rela melepaskan kepergian Zaid. Ia melihat sorot mata Zaid begitu kuat untuk bertemu dan menjaga Rasulullah. Karena sang Ibu sadar, meskipun Zaid masih kecil, gunung sekalipun tak akan mampu menghalangi semangatnya.
Akhirnya berangkatlah Zaid bersama Paman Atib ke Madinah. Selama perjalanan Zaid tidak pernah bermalas-malasan. Ia membantu mencari kayu bakar dan membuat makanan. Ia juga membantu memasang tali kekang onta dan menurunkan barang bawaan. Pokoknya ia senang sekali. Siapa yang rajin, ia akan bahagia, begitu selau dikatakan ayahnya sebelum meninggal.
Tak terasa setelah berhari-hari mereka melakukan perjalan berat, sampailah mereka dipinggir kota Madinah. Hati Zaid begitu berbunga-bunga. ”Besok aku akan bertemu Rasulullah,” pikirnya dengan hati berdebar-debar karena senang. Malam itu Zaid tidak bisa tidur. Ia ingin matahari segera terbit. Tetapi semua ia rasakan berputar terlalu lama.
Keesokan harinya mereka memasuki Madinah. Namun suasana Madinah diliputi awan mendung. Dimana-mana terlihat kesedihan. Kaum wanita maupun laki-laki terlihat terisak-isak, dan wajah mereka menampakkan ketermanguan yang menggambarkan seakan-akan ada sesuatu kejadian yang sulit dipercaya.
Bertanyalah Paman Atib kepada mereka ”Wahai saudaraku ada apa gerangan , kenapa seisi Madinah terlihat berduka ?”
”Nabi telah wafat …”
”Innalillahi wainnailaihi roji’un…”
Dada Zaid tiba-tiba terasa sesak. Seorang Nabi sekaligus ayah mereka, seorang pemimpin sekaligus sahabat mereka telah tiada. Siapa tak kan sedih. Bahkan pelepah-pelepah kurmapun merunduk sementara angin pun tidak bertiup. Seluruh alam benar-benar berduka.
Zaid tak dapat menahan rindu, berita tersebut seakan langsung membuatnya lemas. Tiba-tiba semua perjalanan jauh yang tak terasa itu datang kembali. Tiba-tiba semua penyakit yang diderita dulu kini mencengkeram kembali.
Sore itu Zaid jatuh sakit. Tubuhnya menggigil kedinginan. Paman Atib berjaga semalaman. Akan tetapi menjelang subuh panas badan Zaid turun. Zaid meminta Pamannya membawanya keluar tenda. ”Aku ingin melihat bintang,” katanya lirih. Dibopongnya tubuh Zaid yang terbungkus selimut keluar tenda. Dibawanya Zaid hingga ke sebuah bukit, supaya Zaid dapat memandang bintang sepuasnya.
” Paman…” ucap Zaid lirih. Setelah ayah meninggal, seorang Tabib yang baik hati pernah memeriksa tubuhku yang sakit-sakitan ini. Kata tabib hidupku hanya tinggal beberapa bulan lagi. Yang tahu hal ini hanya Kak Ubaid. Ibu tidak kami beritahu karena takut Beliau sedih…” ia menghela nafasnya dalam-dalam. ”Selama perjalanan aku berusaha menahan semua sakit agar bisa bertemu Rasulullah, tetapi Allah berkehendak agar kami bertemu ditempat yang lebih indah dari dunia ini. Be… betul kan, Paman ?” Paman Atib mengangguk perlahan sambil mendekap tubuh Zaid.
Sayup-sayup terdengar suara syair musafir,.
Tiada lagi indah bintang-bintang di langit…
Karena bintang yang terindah telah tiada….
Tiada lagi sejuk cahaya bulan…
Karena cahaya tersejuk telah tiada…
Yaa… Muhammad…
Penuh rindu kudatangi kota ini…
Namun Kau biarkan aku sendiri….
Menunggu didunia fana ini…
Yaa… Muhammad…
Kalaupun tak kujumpai Engkau disini
Janganlah Kau palingkan wajah dariku…
Bila kita bertemu suatu saat…
Di akhirat nanti….
Zaid tersenyum. Sorot matanya perlahan-lahan terkatup, dan tertutup selamnya. Ia telah kembali keharibaan Allah, sang Maha Pencipta. ”Innalillahi wainnailahi roji’un, selamat jalan Zaidku. Sampaikan salam Paman buat Rasulullah…” bisik Paman Atib lirih.
Angin malam berhembus perlahan seolah-olah berkata, ”Alangkah berbaghagianya orang-orang beriman. Mereka bersaudara didunia dan bersaudara di akhirat…”
============
Subhanallah„,
alangkah indahnya hidup ini
andai dapat ku tatap wajahmu
Ya Rasulalllah Ya Khabiballah
akui kami sebagai ummatmu
Ya Rasulallah Ya Khabiballah
kami rindu padamu.
oleh “Eka Wardhana”….
0 komentar:
Posting Komentar