Pages

Selasa, 24 Januari 2012

BISIK SEORANG PELACUR

”mohon maaf sebelumnya, saya kurang sependapat dengan apa yg barusan bapak sampaikan.”
”coba kemukakan alasan kenapa kamu tidak sependapat”
”menurut saya, pelacuran adalah bagian kecil dari kebudayaan bangsa ini pak. Ini jelas, bukankah seorang filsup yg menyusun tentang tujuh unsur universal kebudayaan mengatakan salah satu unsur universal kebudayaan adalah mata pencaharian pak?? Ini sudah kita bahas pada pertemuan sebelumnya dan bapak sepakat dengan apa yg ditulis oleh filsuf tersebut. Bukankah pelacuran di negeri ini atas dasar mata pencaharian pak?? Bukan karena para pelacur itu mau melacurkan diri mereka pak, atau mereka yg melacurkan dirinya tidak punya keahlian lain selain menjadi pramunikmat. Melainkan itu fakta bahwa negara sampai hari ini tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yg layak bagi mereka pak.

”sebagai orang Indonesia, saya tetap tidak sepakat kalau pelacuran dianggap sebagai budaya bangsa ini” dosen Sosial dan Budaya Dasar tadi memotong alasan yg aku kemukakan. Wajahnya yg hitam itu tampak memerah, mungkin dia marah mendengar perkataanku, atau juga merasa dipermalukan dihadapan mahasiswanya sendiri karena perkataannya hari ini sungguh jauh dari apa yg dia sampaikan minggu lalu. Tapi aku terus saja mengemukakan pendapat yg menurutku lebih tepat dari pada apa yg dia sampaikan.
”itu jelas bukan alasan yg ilmiah apa yg bapak sampaikan tadi. Saya juga warga negara bangsa ini pak. Sejujurnya hati kecil saya juga berontak jika pelacuran dikatan bagian dari kebudayaan bangsa ini pak, tapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa fenomena ini telah terjadi di negeri ini, bahkan sebelum nama Indonesia lahir pak.” sontak saja dosen pengajar ku tadi tambah marah, mungkin tidak terima argumennya dibantah mahasiswanya sendiri.

Dengan nada tinggi dia meminta biodata ku dan memintaku menemuinya diruangannya. Belum selesai waktu dia mengajar, dosen tadi meninggalkan ruang kelas. Tindakan ini jelas menimbulkan berbagai macam pertanyaan dikepalaku, bahkan tidak sedikit kawan-kawanku berspekulasi atas kejadian tersebut. Ada juga yg menjadikannya bahan lelucon, sehinngga suasana kelaspun mencair lai setelah tegang beberapa saat.
Tersiar kabar dari ketua tingkat kelasku, dosen tadi memintaku untuk menemuinya diruangan dan meminta maaf padanya. Informasi itu aku tolak dengan tegas. Karena aku merasa apa yg aku ungkapkan diruang kelas tadi adalah ilmiah dan atas dasar yg jelas.

Seperti yg sudah aku duga sebelumnya, tidakan ku yg menolak meminta maaf pada dosen tersebut berujung pada nilai D yg tertera di Kartu Hasil Studi semester ini pada mata kuliah Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar.

Liburan semester kali ini tidak berbeda dengan liburan-liburan sebelumnya. Disaat semua mahasiswa memanfaatkan momen ini untuk pulang kekampung halaman masing-masing untuk sekedar melepas penat setelah menuntut ilmu diperantaun. Tidak sedikit dari mereka juga yg pergi berlibur keluar pulau, bahkan keluar negeri untuk melampiaskan hasrat gaya hidup yg selangit. Sementara aku dan beberapa kawan yg lain masih betah berada didalam kampus  . kami bahu membahu menggarap sebuah pertunjukan yg akan kami pentaskan di Bali. Bali...?? siapa yg tak mengenal keindahan pulau dewata tersebut. Bahkan dunia internasional pun mengakui keindahan panorama pulaunya dan budayanya. Tidak sedikit pula para pelaku industri musik menuliskan bait demi bait  yg melantunkan keindahan pulau tersebut.

Jujur saja, aku tahu tentang bali hanya dari televisi saja. Bahkan bermimpi untuk menginjakkan kaki kepulau tersebut pun aku takberani. Tapi begitu kesempatan itu datang, aku dan kawan-kawan tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Bukan berarti berlibur dan berwisata menjadi tujuan kami. Kami sepakat menjaga orientasi kedatangan kami kepulau tersebut untuk mempertunjukkan hasil proses kami selama ini. Kesempatan pulang kampung pun kami korbankan.

Hari itu, aku dan seorang sahabat yg berbeda lembaga berangkat terlebih dahulu menuju Surabaya untuk mengurus segala sesuatunya termasuk tranportasi dari Surabaya menuju Bali, karena rombongan yg menyusul dua hari lagi menggunakan jalu darat menuju Bali.

Sesampainya di Kota Pahlawan, pikiranku terus terusik tentang fenomena pelacuran yg ku anggap sudah membudaya dibangsa ini.

Setelah istirahat beberapa saat dikampus kawanku di Surabaya, aku mengajak dia untuk ke lokalisasi Dolly yg terkenal se-Asia Tengara dan lokalisasi yg secara resmi dilindungi oleh pemerintah kota dengan alasan pemasukan terbesar di daerahnya.
”boy, ke dolykah??
”mau ngapain?? Kawanku balik bertanya.
”ngapain aja boleh” aku sambil tertawa menjawab pertnyaannya yg menurutku konyol tadi. ”jangan dipikirkan disini boy, ntar kalau udah sampai disana baru kita pikirkan,ok” lanjutku enteng.
”ok deh, aku ngikut aja”
Setelah itu kami sampaikan niat tadi kepada kawan yg membantu kami selama dikota itu. Merekapun menyiapkan dua orang anggota untuk menemani kami ke lokalisasi doly yg terkenal itu.

Sepenjang jalan, tanpa sepengetahuan kawanku, aku telah menyusun rencana apa yg akan aku lakukan selama dilokalisasi tersebut dalam hati. Beberapa saat kami telah tiba di lokasi yg dimaksud.

”kita pisah atau bareng ni??” tanya kawanku
”Kita bareng aja biar nggak susah ntar nyarinya,ok”
Kami mulai berkeliling lokalisasi tersebut hingga tak ada satu bagianpun yg kami lewatkan. Layaknya ikan yg berada dalam akuarium, perempuan-perempuan yg menjajakan diri merekapun dipajang dalam kotak kaca yg besar sehingga para pencari nikmat yg datang malam itu bebas memilih perempuan mana yg mereka pilih untuk memuaskan hasrat mereka. Sungguh, ini pengalamanku yg pertamakali menginjakkan kaki ditempat lokalisasi.

”boy, kenapa ada Wisma Kalimantan disini?? Sampai Wisma Kalimantan 5 lagi?? Apa pekerja disini benar-benar orang kalimantan?? Tiba-tiba aku protes karena melihat plang nama yg aku lihat bertuliskan Wisma Kalimantan.
”entahlah, aku juga pertama kali kesini” jawab kawanku yg tidak nampak rasa penasaran sedikitpun dari raut wajah kusamnya. Entah apa yg dia pikirkan.
Tapi protes yg aku layangkan tadi bukan serta merta membuatku berkeinginan membakar tempat itu atas dasar ketersinggungan. Karena konsekuensinya bisa-bisa aku juga akan ikut dibakar oleh orang-orang yg sumber rejekinya berasal dari keramaian lokalisasi ini. Aku hanya tertawa kecil dalam hati.
Sekarang aku berdiri didepan sebuah wisma yg didalamnya kelihatan penuh oleh para hidung belang yg mencari teman melepas penat malam ini.

Seorang calo mendekatiku sambil menawarkan perempuan-perempuan yg ada didalam kotak kaca tersebut. Aku tahu calo ini penduduk setempat, terlihat dari logat yg dia gunakan.
”masuk mas bro, apik-apik lo mas bro. Anyar-anyar, tenan.”
Akupun memutuskan untuk masuk kedalam ditemani calo tadi. Sepanjang jalan dia terus menunjukkan perempuan-perempuan yg dimaksudkan.
”sing iku apik tenan mas.  De’e iso opo ae lah pokoknya. Tergantung permintaan. Namanya Marni,umurnya 22 tahun mas, de’e durung onok ana’e mas, tenanan lo iki mas. Siip lah pokoknya.” celoteh calo tersebut.
Tanpa pikir panjang aku langsung mempercayai calo tersebut. Walaupun sebenarnya dalam hati dari tadi aku mohon maaf yg sebesar-besarnya pada ibuku, karena kalau dia tahu apa yg aku lakukan malam ini dia pasti marah padaku. Tapi itu tidak mengurungkan niatku untuk menjawab segala pertanyaan yg bergelayutan di otakku saat ini.

Sosok perempuan berbadan sintal itu kini berada dihadapanku. Kami berdua didalam kamarnya. Setelah beberapa saat aku pun memulai obrolan malam itu.
”benar namamu Marni”
”kok tau mas??  pasti tahu dari Yanto ya??” yanto adalah calo yg menawarkan Marni padaku tadi.
”iya”
”bisa kita mulai mas??” dengan manjanya pertanyaan itu dia keluakan. Pertanyaan itu sedikit mengganggu pendengaranku. Bukan tidak mungkin aku akan larut dan kalah pada malam ini yg memang sedang dinggin-dinginnya.
”sebentar, sebelumnya aku minta maaf, aku takut menyinggung perasaanmu, karena aku sadar apapun pekerjaanmu saat ini, kau tetap manusia yg punya perasaan dan kapan saja dan dimana saja bisa tersinggung.”
”ah mas ini bisa saja” potongnya sambil tertawa kecil.
”malam ini aku hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, untuk memenuhi penelitianku marni” jawabku. Mungkin ini dianggap alasan baginya.
”mas ini wartawan ya??” tanya marni dengan sedikit rasa penasaran.
”bukan mar, aku masih kuliah di perguruan tinggi di kalimantan. Akudatang kesini hanya untuk memenuhi rasa penasaranku. Tidak lebih. Sungguh,aku bukan wartawan”
”syukur deh. Sebab, wartawan bahaya mas kalau ketahuan masuk kesini. Untuk wartawan ada proses yg harus mereka lewati dulu, baru bisa meliput disini mas.” sambil berbicara itu, Marni sebenarnya sambil membuka bajunya perlahan-lahan, tapi keburu ku cegat. Aku tidak mau menodai niat bulat ku malam ini untuk sebuah pembuktian. Marni pun mengurungkan niatnya.

Jujur saja aku sedikit gugup malam itu, karena ini adalah pengalaman pertamaku mewawancarai perempuan pramunikmat.
Malam itu ku awali dengan pertanyaan-pertanyaan yg bersangkutan dengan latar belakang Marni sebelum terjebak dalam ruangan ini. Marni pun menjawab dengan jujur, tidak tampak kebohongan yg tersirat dari wajahnya.

”aku berasal dari kota apel mas, umurku sekarang 25 tahun dan punya anak dua.” sontak aku terkejut mendengar pengakuannya. Berarti aku telah ditipu oleh yanto, calo yg menemaniku tadi. Tapi tak apaplah karena tidak penting bagiku. Aku tidak memotong pembicaraan Marni.
”aku anak ketiga dari enam bersaudara mas, suamiku pergi ntah kemana batang kemaluannya pun sudah tak pernah kulihat lagi” celetuknya.
Akhirnya kuberanikan diri untuk menanyakan hal-hal yg sensitif mengenai perjalan hidupnya sampai bisa berada disini. ”kok bisa sampai kerja disini Mar?? Lagi-lagi aku minta maaf lo mar kalau pertanyaanku ini menyinggung perasaanmu. Kalau kau nggak mau menjawab juga nggak papa kok.”
”santai aja ama aku mas. Mas kan masuk sini nggak gratis. Ya walaupun masnya menolak aku layani, berarti aku akan melayani dengan cara lain mas. Menjawab pertanyaan yg mas ajukan. Impaskan??” sungguh pandai perempuan ini hati kecilku berkata.

”Tapi mas ini sungguh hebat ya. Jarang lo mas yg masuk sini itu ngajak aku ngbrol, pasti maunya langsung ngajak main mas.” dia tertawa pulas sekali. Mungkin sudah jarang dia bisa tertawa sepulas itu.
”gini lo mas, aku itu harus menghidupi ibu’ku dikampung yg merawat anak-anakku yg masih kecil, dan ketiga adek-adekku yg masih duduk dibangku sekolah mas. Aku sudah tidak punya pilihan lain mas. Aku juga tidak punya keahlian yg menjadi kelebihanku mas. Satu-satunya yg aku miliki hanya tubuh ini mas. Kebetulan, waktu gadis dulu, aku menjadi rebutan para lelaki dikampungku mas” Marni lagi-lagi tertawa tapi tidak selepas yg pertama tadi. Mungkin ada rasa penyesalan yg mendalam dari lubuk hatinya, tapi tak kuasa ia lawan karena memang sudah tak ada pilihan lain selain menjual dirinya di tempat ini
”tidak takut di cap masyarakat sebagai sampah masyarakat dan perusak moral bangsa Mar??”
”masyarakat yg mana mas?? Moral yg bagaimana mas??” marni balik bertanya padaku. ”bukankah mereka yg datang kesini itu bagian dari masyarakat juga mas?? Di televisi, setiap hari aku melihat berita tentang koupsi yg melibatkan pejabat teras bangsa ini di semua pelosok mas. Apa itu tidak dianggap merusak moral bangsa mas?? Apakah tindakan korupsi yg mereka lakukan itu tidak dapat dikatakan sebuah praktek pelacuran politik yg sangat merugikan ratusan juta rakyat di negeri ini??” aku kaget mendengar pernyataan dari Marni tersebut, bahkan hampir tidak percaya, karena pernyataan itu keluar dari mulut seorang perempuan yg menjajakan tubuhnya sebagai mata pencahariannya. Tidak salah diawal tadi aku menilai sebenarnya   Marni adalah seorang permpuan yg pandai. Aku melanjutkan pertanyaanku.

”bagaimana tanggapanmu tentang para pemuka agama yg selalu mengkampanyekan untuk menolak segala macam bentuk  pelacuran di negeri ini Marni??”

Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia malah balik bertanya padaku. ”bagaimana juga tanggapan mas tentang korupsi terbesar dalam negeri ini salah satunya berasal dari Departemen yg mengurusi soal Agama??” belum sempat aku menjawab, dia langsung melanjutkan pembicaraanya. ”aku sadar mas, tidak ada satu agamapun di negeri ini yg menghalalkan praktek jual beli birahi mas. Tapi satu hal yg mesti mereka ketahui mas, perempuan yg menjajalkan tubuhnya untuk dinikmati orang lain, bukan serta merta keinginan mereka mas. Ini kami lakukan karena memang kami tak diberikan pilihan lain, bahkan oleh negara ini sekalipun mas. Pekerjaan kami ini justru menguntungkan mereka mas, coba hitung berapa besar pajak yg harus kami keluarkan dalam praktek birahi ini?? Aku pun sebenarnya ingin seperti orang-orang yg menganggap kami ini sampah masyarakat mas, mendapat pekerjaan yg normal dan upah yg layak.” Marni pun larut dalam apa yg baru saja dia kemukakan. Tampak butiran air mulai turun dari matanya yg terlihat sangat penat malam itu, karena sebelum kedatanganku, sudah sebelas tamu yg dia layani.

”kamu masih sering menjumpai Tuhanmu Marni??” aku bertanya seperti itu untuk mengalihkan kesedihannya. Marni tidak menjawab, tapi tangannya menunjuk kearah sajadah dan mukena yg terdapat disudut kamarnya. Diatasnya juga terdapat sebuah yassin kecil. Itu cukup menjawab pertanyaan yg aku ajukan tadi.
”kepada siapa lagi aku curhat mas, kalau bukan pada-Nya. Aku sadar sangat kotor dihadapan-Nya. Tapi aku juga yakin, Tuhan pasti punya rahasia yg harus aku jawab suatu saat mas. Aku juga tidak mau terus-terusan berada di lembah nista ini. Suatu saat aku ingin keluar dan menyusun kembali hidupku yg baru mas. Membesarkan buah hatiku dengan keringat yg halal.”

Percakapan kami malam itu hanya sampai disitu, karena waktu sewa kamar telah habis. Akupun pamitan pada Marni. Marni berterima kasih padaku karena telah mau mendengar curahan perasaannya.

Dua minggu telah berlalu sejak pertemuanku dengan Marni, seorang pramunikmat yg memberikan banyak jawaban atas rasa penasaranku.

Kini aku sudah berada dikampus kembali setelah melakukan pertunjukkan di Bali sekaligus melepas semua penat di pantai Kuta.


0 komentar:

Posting Komentar