Pages

Minggu, 26 Agustus 2012

Malam Lebaran


Abdullah meninggalkan rumahnya dengan perasaan sedih. Hari lebaran telah di ambang pintu, sementara ia tidak menemukan sesuatu untuk dipakai, ia tidak berani berbicara dan mengeluh pada ibunya. Sejak kematian ayahnya, ibunya tidak mampu memenuhi kebutuhan adik-adiknya yang masih kecil, dan sebagai akibatnya satu demi satu perabotan rumah lenyap. Ia bisa diam, tapi siapa yang akan membuat adik-adiknya diam karena mereka masih kecil-kecil, tidak tahu bahwa mereka adalah orang fakir yang tidak bisa memiliki sesuatu yang baru, kembang gula, dan mainan yang bagus. Tapi bagaimana semua itu bisa terpenuhi?
Abdullah melintasi lorong-lorong jalan sambil berpikir, sementara kaedua kakinya terus mengantarkannya menuju pasar. Para pedagang menggelar barang dagangannya dengan gembira karena lebaran kian dekat.
"Tuhanku, apa yang harus aku lakukan?"  Abdullah berbisik dalam hatinya dengan sedih sambil melangkah. Di sebuah lorong yang sempit, ia berjalan seraya menundukkan kepala bagai oarang yang putus asa sedang mencari sesuatu yang telah lama hilang. Tiba2 ia melompat gembira, jantungnya berdegup kencang, kedua matanya berbiar, pandangannya tertumpu pada sebuah dompet kuno yang sudah lapuk.
Abdullah segera memungutnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, khawatir bila seseprang memergokinya. Saat itu lorong kebetulan sepi. Ia membuka dompet itu dengan sangat hati-hati. Betapa terkejutnya ia saat melihat uang kertas yang amat banyak didalamnya. Ia tidak pernah melihat uang sebanyak itu sejak lahir. Ia membuka kancing bajunya lalu memasukkan dompet itu kedalamnya. Ia lalu berlari kencang seakan terbang diudara.
"Apa yang terjadi pada dirimu, hai Abdullah?"      Ibunya berteriak saat melihat anaknya datang dengan napas tersengal-sengal. Abdullah tidak mampu menjawab, ia hanya menunjukkan dompet tadi ke ibunya, bagaikan seorang yang menyerahkan kemenangan, ibunya mengernyitkan dahi dan memandangnya dengan sorotan mata tajam.
"Tidak bu, aku menemukannya di sebuah lorong," tukas Abdullah gugup. Ia seakaan tahu bahwa ibunya menyangkanya mencuri dompet itu. Ia memandangi wajah adik-adiknya yang berada disekitarnya, lalu berkata, "Aku akan membelikan kalian segalanya, pakaian, kembang gula, mainan, dan lain-lainnya."
"Dari mana kau dapatkan ini?!"  tanya ibunya penasaran.
"Bukankah sudah aku katakan bahwa aku menemukannya di lorong. Apakah ibu tidak mempercayaiku?"  jawabnya.
Itu bukan milikmu! Itu milik seseorang," tukas ibunya.     "Kau harus mengembalikannya kepada pemiliknya. Kalau tidak....!" lanjut ibunya sambil mengancam.
Abdullah berkata " Tidak bu, aku tidak bisa mengembalikannya, karena tidak tahu pemiliknya. Saat itu lorong sepi, mungkin ini anugerah Allah untuk kita di malam lebaran."
"Anugerah Allah lebih mulia dari sesuatu yang kau dapatkan dengan cara seperti itu!" balas ibunya seraya menatap langit.   "Berusahalah mencari pemiliknya, anakku. Mungkin ia orang yang memerlukan uang itu seperti kita."
"Tidak, tidak, bu, " tukas Abdullah sambil mengencangkan genggamannya pada dompet itu.
Seketika ibunya berteriak marah, "Kalau begitu, keluarlah dari rumah! Ibu tidak ingin melihat wajahmu lagi."
Abdullah keluar dan segera menutup pintu. Ia pergi ke pasar sambil berangan-angan membeli pakaian baru untuk lebaran.
Seperti lilin yang mencair, perlahan-lahan kegembiraan dalam hati Abdullah pun sedikit demi sedikit lenyap, hingga ketika sampai di pasar ia merasa sedih. Dari hatinya yang paling dalam ia berpikir, seandainya ia tidak menemukan dompet itu, tentu hati ibunya tidak terluka. Abdullah berpikir dan terus berpikir.
"Mungkin ibuku benar, siapa tahu pemilik dompet ini telah mempersiapkan uang ini jauh-jauh hari untuk membeli pakaian lebaran bagi anak-anaknya. Mungkin sekarang ia sedang risau mencari ke sana ke sini tanpa hasil. Tuhanku, apa yang harus aku lakukan....?"  Abdullah bertanya dalam hatinya seraya menengadah ke langit seakan mencari jawaban.
"Oh, seandainya aku tidak mengusirnya....," pikir sang ibu sambil merapikan kasur anak-anaknya. Salah satu anaknya menjerit dan menangis, " Aku tidak ingin tidur, aku akan menunggu Abdullah pulang."   Anak yang lain berkata, "Aku juga tidak akan tidur. Abangku berjanji akan membeli sepatu baru untukku."
Gelombang kegalauan dan kekhawatiran menerpa hati sang ibu. Beberapa saat lalu, gelap telah menyelimuti angkasa. Sedangkan Abdullah belum juga pulang ke rumah. Ia berpikir apa yang bisa dilakukannya? Ia hanya bisa menanti, sementara pikirannya melayang-layang dihembus kerisauan. Dari dalam lubuk hatinya, sang ibu berteriak, "Wahai Yang Maha Menutup aib, wahai Tuhan!"
"Anak-anak terjaga saat mendengar beberapa kali ketukan pintu. Sang ibu terperanjat. Salah satu anak melompat dan membuka pintu. "Abdullah sudah pulang.....," teriaknya. Semuanya berhamburan menyambut kedatangan Abdullah. Mereka tercengang melihat abang mereka menjinjing aneka bungkusan warna-warni, kembang gula, buah-buahan, pakaian dan kotak-kotak kecil berisi mainan.
Sang Ibu bertanya-tanya dalam hati keheranan, "Bagaimana ia bisa membawa bungusan-bungkusan yang banyak ini?" Ia segera masuk ke kamar, sementara perasaan cemas meremas hatinya, hingga ia tak ikut merasakan tawa gembira anak-anak yang menerima bingkisan lebaran itu.
Bintang-gemintang seakan tersenyum di langit yang jernih di malam itu. "Ini hadiah untukmu, Bu," ucap Abdullah seraya menyodorkan kain indah.
Sang ibu menapik dengan tangannya. Seakan menolak benda kotor, ia berkata, "Tidak anakku, aku lebih baik memakai kafan daripada hadiahmu ini. Kembalikan kepada pemiliknya!"
"Dialah yang memberikan ini sebagai hadiah....apakah ibu menolak hadiah juga?"
Sang ibu mengamati wajah Abdullah sambil mencari-cari jawaban dan menduga-duga.
"Aku akan ceritakan semuanya pad ibu,"  tandas Abdullah sambil duduk dihadapan ibunya.
"Aku telah mengembalikan dompet itu tadi kepada orang tang ibu kenal, dia adalah tetangga kita yang baik hati, Pak Sholeh. Aku yakin ibu dapat membayangkan bagaimana gembiranya ia saat aku kembalikan dompetnya yang terjatuh. Ia berkata dengan gembira sampai meneteskan air mata bahwa itu satu-satunya yang ia miliki, lalu berkata pada teman-temannya, "Dunia tidak akan pernah kosong dari orang-orang baik."
"Ia mendesakku untuk menerima sebagian uang untuk membeli bingkisan hari raya. Lalu ia berkata, "Di mana saja kau? Aku sejak lama mencarimu!" Padamulanya aku terheran-heran dengan ucapannya itu, tapi akhirnya paham ketika pak Sholeh melanjutkan ucapannya, "Maksudku, sejak lama aku mencari anak yang jujur sepertimu,"
"Bu, itu berarti mulai saat ini aku bukan anak yang tidak memiliki pekerjaan." Abdullah menceritakan hal itu sambil mengusap air mata ibunya. Ia kini bekerja untuk Pak Sholeh, pekerjaannya mulia dan tidak mengganggu sekolahnya.
Merekahlah senyum diwajah sang ibu, Sesaat kemudian, wanita itu memeluk anaknya seraya berbisik, "Beginilah semestinya anugerah Allah, anakku...."

Oleh: Kemal as Sayyid

0 komentar:

Posting Komentar